Tuesday, May 05, 2009
MENTAL MODEL GURU
oleh : Ahmad Baedowi
Apa musuh terbesar seorang guru? Jika pertanyaan ini ditujukan kepada para guru di Indonesia, pastilah jawabannya sangat beragam. Sebagian ada yang menjawab masalah fasilitas sekolah yang kurang memadai, gaji yang tak layak, birokrasi yang menyebalkan, orangtua yang tak peduli pada anak-anaknya, dan sederet jawaban lainnya. Sedangkan sebagian lainnya akan menjawab bahwa musuh terbesar seorang guru adalah disiplin anak, kemalasan anak, dan ketidak pedulian anak terhadap proses belajar mengajar di kelas.
Musuh kedua ini selalu menjadi problem tak terselesaikan, jika seorang guru memiliki mental model yang sering memberikan labelling terhadap kondisi siswanya. Inilah sebenarnya musuh utama para guru kita. Karena itu sejalan dengan makin besarnya tantangan yang harus di¬hadapi oleh seorang guru, saat ini muncul sejumlah usaha untuk memperbaharui kon¬sep atau gagasan tentang apa yang disebut sebagai guru berkualitas.
Salah satu prasyarat yang dimemukakan oleh Peter Senge dalam The School That’s Learn (2003) perlu dipertimbangkan sebagai keterampilan yang perlu dimiliki oleh seorang. Keterampilan tersebut dinamai Peter Senge sebagai mental models, sebuah disiplin yang ingin menekankan sikap pengem¬bangan kepekaan dan persepsi —baik dalam diri sendiri atau orang sekitarnya.
Bekerja dengan membentuk mental ini dapat membantu para guru kita untuk lebih jelas dan jujur dalam memandang kenyataan yang tampak dari keragaman alenta yang dimiliki oleh setiap siswa.
Pembentukan mental dalam pendidikan seringkali tidak dapat didiskusikan, dan tersembunyi, maka kritik yang harus diperhatikan oleh seorang guru yang belajar adalah bagaimana mereka mampu mengem¬bangkan kapasitas untuk berbicara secara produktif dan aman tentang hal-hal yang berbahaya dan tidak nyaman, baik bagi dirinya, siswa dan lingkungan belajarnya. Karena itu penting juga bagi para guru untuk senantiasa aktif memikirkan asumsi-asumsi tentang apa yang terjadi dalam kelas, tingkat perkembangan siswa, dan lingkungan rumah siswa.
Jika mental model para guru kita dapat memahami dengan baik bagaimana keterkaitan antara teori belajar semacam constructivism dan cara otak bekerja dalam belajar (brain based learning), maka guru akan dapat menyimpulkan bahwa proses belajar itu adalah semacam pencarian sebuah arti (kehidupan). Karena itu belajar harus dimulai di antaranya dengan isu-isu keseharian siswa dalam kehidupan sehari-hari mereka dalam rangka mencari pemaknaan yang lebih luas tenang suatu hal. Tetapi masalahnya jika guru kita memilii mental model yang selalu membuat labelling terhadap kondisi siswanya, jangan-jangan proses belajar mengajar hanya terbatas pada transfer ilmu sesaat tanpa menghiraukan kebutuhan siswa itu sendiri. Yang terjadi kemudian adalah adanya penanaman doktrin yang belum sepenuhnya sesuai dengan kondisi psikologis anak.
Ada baiknya jika para guru mencoba merenungkan kata-kata bijak dari Khahlil Gibran, bahwa tugas utama seorang guru di anaranya adalah mengantarkan anak agar bisa melakukan eksplorasi secara maksimal terhadap daya jelajah intelektual mereka (The teacher if he/she indeed wise does not bid you to enter the house of his/her wisdom but leads you to the treshold of your own mind). Dalam konteks ini tentu saja mental model guru harus seimbang dengan prinsip etika ketimuran yang agamis dan penuh tradisi kesantunan. Jika tidak, maka kejadian saling mengejek antar guru di salah satu sekolah di Medan bisa jadi terjadi pada banyak sekolah lainnya di Indonesia. Bagaimana ceritanya?
Suatu ketika seorang guru matematika di salah satu sekolah di Medan mengejek dua orang rekannya, guru agama Islam dan Katolik. Si guru matematika ini bilang bahwa kedua orang guru agama rekannya ini dalam mengajar agama laksana seorang calo angkutan kota. Sang calo angkutan selalu berteriak: ”Siantar. Siantar, siantar.” kepada para calon penumpang.
Namun ketika para penumpang masuk ke dalam mobil, si calo berbalik arah menuju warung untuk menyeruput kopi dan menghisap rokoknya. Tak perduli apakah penumpang itu sampai di Siantar atau tidak.
Apa yang terjadi kemudian? Kedua orang guru agama tersebut marah kepada guru matematika sambil berujar: ”Untung kau temanku, kalau tidak sudah kuberi kau ketupat Bengkulu”. Edu hanya mengurut dada, semoga mental model guru-guru kita tidak seperti ”calo” sebagaimana dimaksud dalam cerita di atas.
(Ahmad Baedowi)
dikutip dari : http://www.kickandy.com/index.php?ar_id=MTU0Nw==
biodata penulis :
Name : Ahmad Baedowi
Place of Birth : Bekasi, West Java
Date of Birth : October 10, 1964
Home Address : Kav. Sawah Indah II, RT. 04 Rw. 005,
Kelurahan Margamulya, Kec. Bekasi Utara, Indonesia
Telephone : Home – +62 (021) 8812364
Office – +62 (021) 7494032, 74704875
Fax : +62 (021) 74704875
E-mail : baedawi@yahoo.com
Mobile Phone : 0812 888 5763
Sex/Marital Status : Male/Married
Religion : Islam
Nationality : Indonesia
EDUCATION
2000 to 2002 S-2 Post Graduate Program, Shool of Education, George Mason University, Virginia, USA.
1985 to 1989 S-1 Faculty of Ushuluddin, State Islamic University (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Indonesia.
1981 to 1984 Asy-Syafi’iyyah Senior High School, Jakarta, Indonesia.
1978 to 1981 Asy-Syafi’iyyah Junior High School, Jakarta, Indonesia.
1972 to 1978 Elementary School No. 1 Bekasi (SD Negeri 1), Bekasi, West Java, Indonesia.
ADDITIONAL TRAINING/WORKSHOP
2000 Washington, DC International Student Orientation Program - Participant
1999 Jakarta, Indonesia Project Manager Training Program, Asian Development Bank (ADB), Jakarta - Participant
1998 Auckland, New Zealand Management Training Program, Auckland Institute of Technology, New Zealand - Participant
1996 Sydney, Australia HIV Aids Management Training Program, New South Wales University, Sydney Participant
1996 Jakarta, Indonesia English Course for Special Purposes, Indonesia-Australia Language Foundation (IALF), Jakarta - Participant
1995 Jakarta, Indonesia Leadership Training Program, Indonesian Moslem Scholar Association (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, ICMI) - Participant
ORGANIZATION/WORK EXPERIENCE
2006 to now, Academic Director, Executive Director Sukma Foundation, Jakarta
2004 to 2006, Indonesian Institute for Society Empowerment (INSEP), Jakarta.
2004 to now Editorial Board PT. Pustaka Alvabet (Publishing House), Jakarta.
2000 to now Staff Basic Education (Madrasah Pendidikan Dasar, MAPENDA), Ministry of Religious Affair, Republic of Indonesiaa.
1997 to 1998 MORA’s Counterpart Project Preparation Technical Assistant Program, World Bank, Jakarta.
1992 to 1996 Staff of PANIN BANK Staff of Human Resources Development (HRD) Division of Panin Bank – Jakarta.
CERTIFICATION
The Undersigned, certify that, to the best of my knowledge and belief, this bio-data correctly describes myself, my qualifications,and my experience. I understand that any willful misrepresentation described, herein may lead to my disqualification.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Artikel yang bagus mas. Sungguh memberi inspirasi untuk perbaikan diri. Salam dari kita di daerah pelosok Sumatera Utara. Visit me and leave comment please
Post a Comment