SIARAN PRESS
PENGURUS BESAR PELAJAR ISLAM INDONESIA
TENTANG
TENTANG
PERINGATAN HARI PENDIDIKAN
Berdasarkan penelitian dari Internasional Labour organization (ILO), 19 % atau 4, 18 Juta anak usia sekolah di Indonesia ternyata putus sekolah dan menjadi pekerja anak, dan lebih dari 350 ribu anak TKI yang ada di Malaysia tidak dapat mendapatkan akses pendidikan karena orang tua mereka tidak memiliki dokumen dan si anak tidak memiliki kewarganegaraan.
Fasilitas pendidikan pun telah banyak yang rusak, gedung sekolah merupaka komponen utama dalam proses belajar mengajar banyak yang telah rusak, sebagai catatan di Tanggerang 45 % dari 378 sekolah mengalami kerusakan, di madiun jawa timur dari 475 bangun sekolah yang ada, 121 mengalami kerusakan, dengan rincian 48 nyaris roboh, 14 rusk sedang dan 59 rusak ringan.
Tidak hanya didaerah-daerah kerusakan sekolah pun terjadi di Jakarta, yang sangat dekat dengan kekuasaan, ada sekitar 413 sekolah yang rusak di merata disemua wilayah DKI Jakarta. Bila ditotal jumlah sekolah yang rusak se Indonesia ada sekita 20.500 dari tingkat SA hingga SMA. Dari semua kerusakan tersebut pemerintah hanya bisa memperbaiki sebagaian karena keterbatasa dana.
Pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah sebagaimana di amanahkan oleh UUD 1945 sangat jauh dari idealitas, anggaran Pendidikan yang diamanahkan sebesar 20 % dari APBN dan APBD baru dapat direalisasikan pada tahun 2008 dan itupun dengan aturan sebagaimana di putuskan oleh MK bahwa gaji guru termasuk dalam anggaran tersebut, suatu hal yang sangat aneh, anggaran 20 % bisa habis hanya untuk mengaji guru, hanya sebagian kecil saja yang dapat dimanfaatkan untuk perbaikan pendidikkan Indonesia.
Kebijakkan pemerintah terhadap pendidikan pun tambah kelihatan tidak berpihak, dengan dikeluarkannya UU BHP yang secara tersembunyi dapat mereduksi tanggung jawab pemerintah terhadap dunia pendidikan dengan mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada rakyat. Selain itu begitu ngototnya pemerintah untuk tetap melaksanakan Ujian Nasional (UN) yang kenyataannya tidak bisa menghasilkan lulusan yang terbaik, tetapi melahirkan para penjahat-penjahat pendidikan, seperti yang terjadi baru-baru ini banyak guru dan kepala sekolah yang ditangkap karena membocorkan soal-soal UN.
Tidak hanya itu saja, diskriminasi pendidikan pun masih ada, dimana dengan standarisasi sekolah nasional maupun internasional, membuat perbedaan yang sangat besar antar sekolah yang ada, sekolah-sekolah berstandar mendapat bantuan pemerintah lebih besar dari pada sekolah yang tidak berstandar. Sebagai contoh bantuan pemerintah kepada Sekolah Dasar Berstandar Internasional (SDBI) yang mendapat bantuan kepada rintisan SDBI sebesar Rp. 500 Juta pada tahun pertama, Rp. 300 Juta pada tahun kedua dan Rp. 200 juta pada tahun ketiga. SDBI diharapkan nantinya dimiliki masing-masing kota dan kabupaten minimal satu SD.
Selama masa kampanye Pemilu pun tidak banyak partai politik yang berbicara tentang konsep-konsep dan kebijakan pendidikan yang akan mereka lakukan apabila nanti mereka memenangi pemilu. Suatu hal yang sangat menyedihkan ketika partai politik pun tidak mengangap pendidikan itu penting untuk kebaikan bangsa.
Para elit politik lebih sibuk mengurusi bagaimana cara bisa menjadi RI – 1 dari pada mengurusi anak bangsa yang tidak dapat bersekolah, tidak dapat menikmati pendidikan hingga jenjang yang paling tinggi, ataupun bersekolah dengan nyaman tidak takut gedung sekolahnya roboh ketika mereka belajar. Seandainya biaya-biaya kampanye para elit politik itu dikumpulkan, tidak perlu semua 50 % dana kampanye mereka saja diperuntukkan untuk pendidikan maka berapa juta anak-anak bangsa dapat bersekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Tetapi kenyataannya tidak, yang lebih peduli dengan anak bangsa malahan negara tetangga (Singapura) yang menyediakan dana miliyaran dolar untuk memberikan beasiswa kepada anak bangsa yang memiliki kecerdasan lebih. Kita tidak tahu bagaimana jadinya bangsa ini ketika para elit tidak peduli dengan pendidikan anak bangsa.
Pelajar Islam Indonesia (PII) Sebagai organisasi yang konsen akan akan nasib pelajar dan pendidikan, dengan ini menyatakan sikap:
1. Cabut Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP)
2. Tolak Ujian Nasional (UN), berikan hak penilaian hasil belajar kepada guru yang mendidik pelajar.
3. realisasikan anggaran pendidikan 20% diluar gaji guru.
4. Sekolah Gratis sampai Perguruan Tinggi.
5. Tolak diskriminasi pendidikan
6. Tolak Calon Presiden yang tidak peduli pada Pendidikan.
Demikian Pernyataan ini kami buat, hari-hari esok adalah miliki pelajar, pelajar bersatu memperjuangkan hak-haknya. Lawan Kapitalisme dan liberalisme Pendidikan.
Fasilitas pendidikan pun telah banyak yang rusak, gedung sekolah merupaka komponen utama dalam proses belajar mengajar banyak yang telah rusak, sebagai catatan di Tanggerang 45 % dari 378 sekolah mengalami kerusakan, di madiun jawa timur dari 475 bangun sekolah yang ada, 121 mengalami kerusakan, dengan rincian 48 nyaris roboh, 14 rusk sedang dan 59 rusak ringan.
Tidak hanya didaerah-daerah kerusakan sekolah pun terjadi di Jakarta, yang sangat dekat dengan kekuasaan, ada sekitar 413 sekolah yang rusak di merata disemua wilayah DKI Jakarta. Bila ditotal jumlah sekolah yang rusak se Indonesia ada sekita 20.500 dari tingkat SA hingga SMA. Dari semua kerusakan tersebut pemerintah hanya bisa memperbaiki sebagaian karena keterbatasa dana.
Pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah sebagaimana di amanahkan oleh UUD 1945 sangat jauh dari idealitas, anggaran Pendidikan yang diamanahkan sebesar 20 % dari APBN dan APBD baru dapat direalisasikan pada tahun 2008 dan itupun dengan aturan sebagaimana di putuskan oleh MK bahwa gaji guru termasuk dalam anggaran tersebut, suatu hal yang sangat aneh, anggaran 20 % bisa habis hanya untuk mengaji guru, hanya sebagian kecil saja yang dapat dimanfaatkan untuk perbaikan pendidikkan Indonesia.
Kebijakkan pemerintah terhadap pendidikan pun tambah kelihatan tidak berpihak, dengan dikeluarkannya UU BHP yang secara tersembunyi dapat mereduksi tanggung jawab pemerintah terhadap dunia pendidikan dengan mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada rakyat. Selain itu begitu ngototnya pemerintah untuk tetap melaksanakan Ujian Nasional (UN) yang kenyataannya tidak bisa menghasilkan lulusan yang terbaik, tetapi melahirkan para penjahat-penjahat pendidikan, seperti yang terjadi baru-baru ini banyak guru dan kepala sekolah yang ditangkap karena membocorkan soal-soal UN.
Tidak hanya itu saja, diskriminasi pendidikan pun masih ada, dimana dengan standarisasi sekolah nasional maupun internasional, membuat perbedaan yang sangat besar antar sekolah yang ada, sekolah-sekolah berstandar mendapat bantuan pemerintah lebih besar dari pada sekolah yang tidak berstandar. Sebagai contoh bantuan pemerintah kepada Sekolah Dasar Berstandar Internasional (SDBI) yang mendapat bantuan kepada rintisan SDBI sebesar Rp. 500 Juta pada tahun pertama, Rp. 300 Juta pada tahun kedua dan Rp. 200 juta pada tahun ketiga. SDBI diharapkan nantinya dimiliki masing-masing kota dan kabupaten minimal satu SD.
Selama masa kampanye Pemilu pun tidak banyak partai politik yang berbicara tentang konsep-konsep dan kebijakan pendidikan yang akan mereka lakukan apabila nanti mereka memenangi pemilu. Suatu hal yang sangat menyedihkan ketika partai politik pun tidak mengangap pendidikan itu penting untuk kebaikan bangsa.
Para elit politik lebih sibuk mengurusi bagaimana cara bisa menjadi RI – 1 dari pada mengurusi anak bangsa yang tidak dapat bersekolah, tidak dapat menikmati pendidikan hingga jenjang yang paling tinggi, ataupun bersekolah dengan nyaman tidak takut gedung sekolahnya roboh ketika mereka belajar. Seandainya biaya-biaya kampanye para elit politik itu dikumpulkan, tidak perlu semua 50 % dana kampanye mereka saja diperuntukkan untuk pendidikan maka berapa juta anak-anak bangsa dapat bersekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Tetapi kenyataannya tidak, yang lebih peduli dengan anak bangsa malahan negara tetangga (Singapura) yang menyediakan dana miliyaran dolar untuk memberikan beasiswa kepada anak bangsa yang memiliki kecerdasan lebih. Kita tidak tahu bagaimana jadinya bangsa ini ketika para elit tidak peduli dengan pendidikan anak bangsa.
Pelajar Islam Indonesia (PII) Sebagai organisasi yang konsen akan akan nasib pelajar dan pendidikan, dengan ini menyatakan sikap:
1. Cabut Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP)
2. Tolak Ujian Nasional (UN), berikan hak penilaian hasil belajar kepada guru yang mendidik pelajar.
3. realisasikan anggaran pendidikan 20% diluar gaji guru.
4. Sekolah Gratis sampai Perguruan Tinggi.
5. Tolak diskriminasi pendidikan
6. Tolak Calon Presiden yang tidak peduli pada Pendidikan.
Demikian Pernyataan ini kami buat, hari-hari esok adalah miliki pelajar, pelajar bersatu memperjuangkan hak-haknya. Lawan Kapitalisme dan liberalisme Pendidikan.
No comments:
Post a Comment