Monday, January 19, 2009

Problematika Guru Di Pedalaman Kalteng



Oleh : Nanang F

Masalah guru/PNS yang ditugaskan di daerah “udik” (baca : pedalaman/terpencil )
mesti perlu diperhatikan lagi. Selama ini yang muncul kepermukaan nampaknya berbagai sorotan miring dan penilaian yang tidak proporsional diberikan seperti tidak komitlah, hanya mencari status PNS sajalah/ sebagai batu loncatan kemudian pindah ketempat lain.

Sementara itu, hal-hal lain yang berkenaan mengapa dan apa latar belakang guru/PNS tersebut pindah ketempat lain jarang terdengar, baik oleh media maupun “penguasa”
yang mengambil kebijakan. Bahkan menariknya kini ada kebijakan baru yang mau tak mau guru/CPNS terpaksa menelan “pil pahit” dulu, “terpaksa” meneken kontrak perjanjian mengabdi harus 15 tahun dulu baru bisa mengusul pindah.

Sebut saja misalnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdik) Kota Palangka Raya dalam harian koran lokal Banjarmasin Pos edisi Selasa (20/11/2007) mewajibkan tenaga guru yang baru lulus tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) wajib mengajar di daerah pelosok. Ketegasan itu diungkapkan Kadisdik Kota Palangka Raya. Menurut Yudinantir, pihaknya TIDAK AKAN memberikan toleransi kepada guru baru yang lulus CPNS untuk mengajar di sekolah-sekolah yang berada di daerah perkotaan.

"Selama ini tenaga guru terlalu banyak menumpuk di daerah perkotaan. Kebijakan baru kami, mewajibkan guru baru untuk mengajar di daerah pelosok," ujarnya. Sementara itu di Kabupaten Lamandau juga ada kebijakan yang serupa seperti yang terang-terangan diungkapkan Sekda Lamandau Ir. Marukan dalam Koran Kaltengpos (30-12-2007) lalu di halaman Fokus minggu.

“Pelamar CPNS yang diterima harus membuat surat pernyataan kesediaan tidak meminta pindah ke daerah lain minimal 15 tahun,” tegasnnya. Jadi selama kurun waktu tersebut pemkab Lamandau tidak akan mengijinkan seorang PNS pindah kedaerah lain.
Problematika guru/PNS dipedalaman/terpencil jarang diperhatikan, melalui tulisan ini penulis mencoba mengungkapkan ada beberapa alasan mengapa para guru/ PNS pedalaman pindah ke kota/ tempat lain :

1. Mengikuti Suami/Istri

Bagi Guru/PNS yang sudah menikah tentunya memiliki keluarga. Keluarga pada hakekatnya merupakan satuan terkecil sebagai inti dari suatu sistem sosial yang ada di masyarakat. Pentingnya kebersamaan suami istri dalam sebuah keluarga merupakan hasrat berdirinya sebuah rumah tangga. Hal ini juga menunjang untuk mendapatkan keharmonisan rumah tangga.

Namun, tuntutan pekerjaan yang menciptakan konsekuensi hidup terpisah antara suami dan istri bukan hanya satu atau dua minggu, pertemuan terkadang baru terjadi setelah berbulan-bulan. Begitu besar tantangan ini yang dihadapi oleh perempuan ataupun laki-laki jika hidup terpisah satu sama lain membuat bisa menimbulkan keretakan rumah tangga.

Seks, memang tak dapat dipungkiri memiliki peranan dalam kehidupan berumah tangga/ pemenuhan kebutuhan batin. Meski dengan berbagai cara mengisi kesibukan hari untuk tidak terlalu memikirkan soal itu, tapi tidak semua mampu mengusir kesepian hati dan fisik dengan kesibukan seperti itu. Godaanpun mulai datang, perkenalan dan pertemanan di tempat kerja/ lingkungannya. Akhirnya mengeluarkan curhat kepada lawan jenisnya dan selanjutnya bisa menimbulkan perasaan. Perasaan inilah yang mengakibatnya perselingkuhan kerap terdengar oleh kita, dan persoalan kawin ceraipun tidak sedikit.

Selain itu, berapa banyak para suami akhirnya memilih “jajan” di luar menjadi pelanggan para PSK dan tidak menutup kemungkinan hancurnya jalinan rumah tangga, dan telantarnya anak-anak mereka yangg membuat mereka mengatakan "aku berasal dari broken home". Jadi, adalah hal yang wajar bila guru/PNS pindah mengikuti suaminya ataupun mengikuti istri dan manusiawi. Padahal selama ini masalah perpindahan/ mutasi PNS sudah diatur dalam peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 maupun secara teknis diatur dalam Keputusan Kepala BKN Nomor 13 tahun 2003.

2. Biaya Hidup Tinggi

Sudah bukan rahasia umum lagi kalau biaya hidup guru/pns di pedalaman itu mahal. Mengapa mahal ? pertama, kebutuhan akan sembako memang tak dapat dihindarkan. Yang menjadi permasalah adalah harga sembako dipasok dari kota kepedalaman ini menjadi mahal karena sulitnya kondisi jalan/ akses kepedalaman. Hal ini yang memicu biaya operasional yang tinggi, sehingga mau tidak mau para pedagang juga menaikkan dagangannya.

Kedua, biaya transportasi kepedalamanpun mahal. Harus menyeberang sungai naik feri beberapa kali/kelotok/ naik speed dan dengan biaya yang tidak sedikit. Andai saja para pejabat mau mencoba berkunjung kepedalaman merasakan kondisi jalannya/alamnya dengan sarana yang biasa dipakai oleh warga bukan memakai pesawat/Helikopter atau mobil-mobil yang memang khusus di rimba, tapi kenyataannya memang jarang, kecuali pada saat kampanye pilkada saja.

Pembangunan, peningkatan mutu jalan juga terkesan lamban. Malah hingga kini masih ada beberapa daerah pedalaman yang belum bisa diakses memalui jalur darat. Misalnya saja didesa Manarang kabupaten Kapuas. Atau jembatan yang menghubungkan Palangkaraya-Buntok seakan Mati enggan hiduppun segan . Ditambah lagi kondisi geografis seperti Kalteng ini banyak dibelah oleh sungai sehingga untuk menuju daerah tempat tugas tersebut memerlukan ongkos yang banyak karena mahalnya biaya penyebrangan feri/ kelotok.

Sementara harga-harga semua kebutuhan hidup juga tiap tahun akan naik tidak pernah turun. Hal ini membuat pengeluaran bertambah banyak sehingga gaji yang diterima setiap bulannya seakan-akan habis tak ada lebihnya. Akibatnya guru/PNS dipedalaman merasa tidak bisa sejahtera. Belum lagi kelangkaan BBM saat ini mulai berimbas pada naiknya harga sembilan kebutuhan pokok (sembako).

Masyarakatpun makin khawatir awal 2008 harga sembako masih mahal. Bahan bakar minyak (BBM) seperti solar dan bensin memang sangat menunjang untuk keperluan operasional dan transportasi. Jika BBM sulit diperoleh, tentu menyebabkan keterlambatan pengiriman barang termasuk sembako. Akibatnya harga pun turut melambung dan masyarakat terbebani.

Apalagi sekarang di sejumlah daerah bensin eceran sampai melonjak menjadi Rp 20.000 per liter. Minyak tanah Rp.8.000 per liter. Untuk mendapatkan minyak tanah (mitan) saja masih sulit. Warga harus antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan tiga sampai lima liter mitan. Belum lagi harganya yang turut naik dengan alasan biaya pengiriman. Kalau sudah begini, tentu harga sembako terimbas. Kenaikan harga sembako tidak lepas dari persoalan distribusi barang. Baik itu karena sulitnya BBM, alur sungai yang menyebabkan kapal sulit merapat dan lainnya.

Menyoal insentif yang ada diberikan Pemda, jumlahnya pun kecil dan terbatas, tahun 2007 saja misalnya Rp. 50.000,- perbulan/orang, selain itu juga tidak semua guru/PNS pedalaman yang menerima, dan itupun diterima tidak setiap bulan, biasanya 3 atau 6 bulan sekali, dan ketika diterimapun ternyata masih harus dipotong. Tetapi sayangnya tidak ada guru/PNS yang berani melaporkan hal itu, mungkin karena takut dipersulit nantinya.

Seiring dengan itu, muncul juga permasalahan tentang penetapan daerah terpencil oleh pemd/pemkab yang dinilai guru pedalaman tidak relevan dengan keadaan dilapangan, menjadi polemik dan memicu kecemburuan sosial pada guru/pns di pedalaman yang menilai mereka lebih berhak mendapat insentif daerah terpencil karena daerahnya terpencil sedangkan guru lainnya yang notabene daerahnya dinilai tidak terpencil malah mendapat insentif. Mengenai masalah ini mudah-mudahan ada tindakan dan kebijakan yang solitif konstruktif dari pihak terkait. Kebijakan Pemda Kalteng yang menaikkan insentif 900 rb pertahun untuk guru terpencil tahun 2008 mungkin bisa membawa nagin segar.

3. Sosial Budaya Masyarakat Lokal

Dahulu kehidupan masyarakat pedalaman/terpencil yang kental dengan budaya tradisional terkenal dengan sopan santun, gotong royong. Prinsip sopan santun mengharuskan manusia untuk saling menghargai, siapa pun dia, dari mana pun asalnya.

Begitu juga ketika seseorang memasuki desa lain sebagai pendatang, harus mau menerima kenyataan bahwa ada tata krama yang harus dipenuhi sebagai orang luar desa. Teguh memegang moralitas, baik agama maupun adat, menandaskan bahwa masyarakat desa adalah masyarakat yang taat akan aturan baku yang sudah disepakati bersama.

Namun, tercerabutnya kultur desa oleh gempuran budaya modern menciptakan masyarakat desa mengalami geger budaya. Yang lama ditinggalkan begitu saja, sedangkan yang baru masih belum banyak dikenal, sehingga kehidupan budayanya menjadi semu. Mereka hidup dalam ketidakpastian dan keterdesakan budaya dan ekonomi.

Seiring dengan itu juga ada masalah yang seringkali membuat hidup guru/PNS dipedalaman tidak nyaman. Misalnya saja ada Guru/ PNS yang bergama Muslim yang ditempatkan di pedalaman yang semuya penduduknya beragama Kristiani sehingga tidak bisa menjalankan ibadahnya/ agamanya lantaran berkeliaran bebas ternak masyakat, (maaf) seperti babi, anjing. Sehingga guru/PNS menjadi tersebut menjadi tidak betah dan asing.

Selanjutnya, masalah keamanan tugas dipedalaman juga yang kadang tidak terjamin, tidak jarang terjadi pencurian dirumah dinas guru/PNS, perampokan yang kian merambah sampai kedesa/pedalaman, masalah budaya jipen (denda) yang menjerat dan masalah magic/perdukunan yang masih mewarnai kehidupan masyarakat, bahkan terkadang terjadi hukum “rimba”. Namun hal ini jarang juga dilaporkan dengan berbagai pertimbangan karena takut nantinya dipersulit. Tidak jarang bila guru/PNS yang mengalaminya dan tidak tahan sehingga berfikir lebih baik pindah ke kota.

Kesimpulan

Meski menjadi salah satu prioritas program Pemprov Kalteng, sektor pendidikan memang harus ditingkatkan dengan menghilangkan kesenjangan mutu pendidikan di perkotaan dan kawasan pedalaman adalah meratanya penyebaran jumlah guru. Beriringan dengan hal itu tidak kalah pentingnya dengan membuka keterisolasian daerah pedalaman, pembangunan akses jalan yang mudah, murah dan terjangkau sehingga guru/PNS yang ditempatkan dipedalaman akan bisa sejahtera dan betah serta mereka bisa pulang ke kota/kepedalaman lagi dengan biaya yang terjangkau.

Masalah kepindahan guru/PNS dipedalaman harus disikapi dengan bijaksana, empati, manusiawi, proporsional dan berdasarkan hukum kepegawaian yang ada bukan atas kehendak “raja-raja” kecil. Kemudian mungkin muncul pertanyaan : “Siapa suruh menjadi PNS di pedalaman kalau tidak mau mengabdi dipedalaman?”. Pertanyaan ini menunjukan kurang proporsionalnya penilaian sipenanya.

Penulis yakin semua para pencari kerja atau pengangguran pasti akan mencari dan mengejar pekerjaan meski jauh keujung dunia, mereka dengan penuh semangat dan mental baja siap untuk merobah hidupnya menjadi lebih baik. Hanya saja mereka “dilupakan” setelah menjalani pekerjaan, kondisi dilapangan mereka selanjutnya jarang diperhatikan, dan problem mereka jarang ditanya/didengar, diurus dan dicarikan solusinya dan akhirnya terkadang mereka menjadi “terlantar” di pedalaman. Demikian tulisan tentang sekelumit kesulitan guru/PNS dipedalaman. Mudah-mudahan di tahun 2008 ini dan tahun-tahun selanjutnya ada perhatian yang lebih baik lagi.

No comments: