Monday, April 27, 2009

Seks Para Pejabat, wajarkah?

Gossip dimasyarakat menyebutkan, hubungan gelap selingkuh dengan wanita idaman lain (WIL) yang terjadi, diduga merata dilakukan oleh para pejabat atau kepala dinas kantoran. Kecenderungannya seperti itu. Tidak terkecuali kepala dinas di lingkungan pendidikan ataupun agama. Karena tidak memandang lembaga tetapi person attitute/sikap yang bersangkutan. Kalau sudah tabiatnya seperti itu, susah diubah.

Bila ditelaah, metode para pejabat yang melalukan perselingkuhan/scandal tersebut ada yang dilakukan dengan cara yang pintar dan “halus” sehingga sangat sulit sekali buktikan di pengadilan. Namun ada juga yang main kasar dan tidak berpengalaman (mungkin belum pengalaman lebih tepatnya), sehingga sering terbongkar, dan heboh.

Salah satu faktor yang mendorong prilaku yang tidak terpuji tersebut adalah karena uang dan uang, serta merasa dirinya orang yang sukses. Para pejabat tersebut merasa gampang mencari uang karena ia merupakan BOSS di kantor/dinas tersebut, uang untuk kegiatan program kerja di kantor seenaknya dikorupsi untuk “jajan” diluar, dan untuk kepentingan pribadi atau keluarganya, sementara program atau kegiatan dikantor sering tidak berjalan dengan maksimal. Korupsi dan penyimpangan dalam dunia pendidikan misalnya :

1. Diklat yang seharusnya diadakan 10 hari di press menjadi 5 hari,

2. Anggaran konsumsi kegiatan dikurangi dari semestinya sehingga seringkali konsumsi kurang layak dan bergizi, bahkan sampai ada peserta yang tidak kebagian makan.

3. Pembelian ATK (alat tulis kantor) yang fiktif,

4. Anggaran perawatan gedung kantor, sarana prasarana diambil uangnya namun kerjaannya nol,

5. Pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai spek dan mutu.

6. Pelelangan meminta japre (jatah preman) sekian persen dari total anggaran proyek tersebut kepada para rekanan.

Pihak rekanan sendiri mengatakan mereka mau tak mau, suka tidak suka harus memberi jatah juga kepada kepala dinas yang bersangkutan agar gol mendapatkan proyek tersebut. Hal ini sudah menjadi rahasia umum.

Sementara itu, kaum hawa (perempuan WIL) yang menjadi korban ‘empuk” para pejabat tersebut juga mengalami keretakan dalam rumah tangganya. Dimana kemarmonisan kurang terjaga sehingga melakukan pelampiasan diluar. Jadi klop-lah sudah kalau ketemu pejabat yang hidung belang. Bikin janji cek in di hotel luar kota/daerah, pura-pura dinas luar dan kebohongan lain sebagainya dibuat untuk dapat mengumbar nafsu birahi. Namun, tidak menutup kemungkinan sebenarnya keaadaan keluarga pejabat tersebut baik-baik saja, hanya sang “pejabat” yang berbicara tidak sesuai kenyataan demi menggaet mangsa.

Selain faktor diatas, faktor lain terjadinya perselingkuhan adalah karena sang pejabat menjadi “jablai” di tempat tugasnya, misalnya mendapat jabatan kepala dinas kantoran di luar daerah asal atau sebaliknya, tetapi tidak serta membawa serta anak isterinya pindah ke tempat tugas baru tersebut. Sehingga pengawasan sang isteri tidak ada, akibatnya terbuka lebar peluang sang “pejabat” untuk tergoda dan menggoda WIL.

Untuk membuktikan adanya dugaan “perzinahan” yang dilakukan para pejabat yang hidung belang tersebut, perlu investigasi yang mendalam dan jangka waktu yang cukup panjang. Bila saja isteri/suami dari pejabat yang bersangkutan tidak mudah percaya dengan alasan suami/isterinya yang pergi rapat/dinas luar dan lain lain tetapi mencari tahu bagaimana kelakuan pasangannya diluar sana.

Bila sudah ketahuan, biasanya sang isteri meminta cerai, namun proses cerai sekarang semakin dipersulit di pengadilan, terutama bagi mereka yang berstatus PNS (Pegawai Negeri Sipil). Banyak persyaratan yang harus dilengkapi, seperti izin atasan, izin BKD, izin Bupati/walikota tempat yang bersangkutan bertugas, serta izin dari suami/ isteri. Nampaknya peraturan yang dibuat-buat tersebut untuk menekan angka/ jumlah perceraian di lingkungan Pemda. Proses sidangnya pun bisa berjalan panjang.

Menurut sumber, salah satu cara yang terbaik untuk membuktikan terjadinya seks affair para pejabat adalah, dengan menggrebek mereka saat sedang indehoi. Artinya tertangkap basah sedang melakukan perbuatan tersebut sehingga tidak berkutik. Bisa juga dengan melakukan pengintaian dan merekam semua aktifitasnya (mungkin mirip seperti pekerjaannya detektif/paparazi).

Akhir kata, penulis mengajak kepada pembaca untuk tidak mendukung prilaku para pejabat yang tidak terpuji tersebut dengan membiarkan hal itu terjadi didepan mata, karena selain merusak mahligai rumah tangganya sendiri, tetapi juga secara tidak langsung merusak tatanan sistem yang ada, memperkosa hak-hak generasi mendatang yang seharusnya mendapatkan pelayanan, program dan hasil pendidikan yang lebih baik. Serta mereka tidak pantas menjadi publik figur masyarakat. Jangan pernah memilih pejabat/wakil rakyat seperti itu. Sukses pemilu 2009.


No comments: